[Film] Serdadu Kumbang : Apa Rungan Negeri Kita, Mek?

Mei 04, 2014


Judul               : Serdadu Kumbang
Penulis            : Jeremias Nyangoen
Sutradara         : Ari Sihasale
Produser          : Ari Sihasale
Pemeran          : Yudi Miftahudin, Aji Santosa, Fachri Azhari, Monica Sayangbati, Titi       Sjuman, Ririn Ekawati, Putu Wijaya, Lukman Sardi, Surya Saputra,       Asrul Dahlan
Musik               : Aksan Sjuman
Distributor        : Alenia Pictures
Tanggal liris      : 16 Juni 2011
Durasi              : 105 menit

Film yang disutradarai Ari Sihasale merupakan film mengkritik bumi Indonesia di bidang pendidikannya. Setelah film-film sebelumnya yang mengangkat tema serupa seperti film Denias : Senandung Negeri di atas Awan dan Tanah Air Beta.
Mungkin ‘Serdadu kumbang’ bukan film dengan ide baru yang menggemakan bumi perfilman, namun film ini cukup mengena dalam kata-kata para pemainnya dalam meng....
Film ini mengisahkan anak-anak desa desa terpencil yang sedang belajar di bangku sekolah dasar dan menengah dengan berbagai impian-impian mereka. Meski demikian, film ini difokuskan pada kehidupan Amek (Yudi Miftahudin), seorang anak SD dengan bibir sumbing yang tahun lalu tidak lulus UAS dengan kedua sahabatnya.

"sekali berbohong, kita akan terus berbohong-amek"


Menonton film Serdadu Kumbang seolah kembali ke masa kecil. Dengan latar Desa Mantar, salah satu daerah terpencil Propinsi Nusa Tenggara Barat yang masih begitu asri seperti belum tersentuh (peradaban/polusi) membuat karakter semakin kuat. Dengan kepolosan pemeran, ...
Setting daerah pinggiran juga begitu kental dalam film ini. Digambarkan dengan mencari sinyal hp pun harus pakai antena khusus. Gaya bermain anak-anak yang masih bisa berlarian bersama di padang rumput, dan tak kalah menarik dengan hadirnya pohon kemiri tempat menggantungkannya impian-impian hampir seluruh anak desa Mantar. Kekuatan film ini ditambah dengan musik yang menginspirasi, penaataan pas dengan situasi dan emosi.
Alur cerita Serdadu Kumbang sebenarnya mudah dipahami, namun kadang penokohan yang kurang jelas dan kuat. Tiba-tiba datang tokoh ini, menghilang dan muncul lagi. Tiba-tiba cerita fokus ke tokoh ini dan kembali ke tokoh yang lain. Sehingga kadang menjadi kabur antara tokoh utama dengan tokoh pendukung. Akhir penutup cerita di film ini terasa menggantung dan sedikit mengecewakan. Karena kegagalan salah seorang tokoh yang sedih berlebih, putus asa sampai mengakibatkan kematian. Tak hanya itu, cerita juga hanya ditutup dengan kebahagian sekilas dengan impian yang masih belum jelas terwujudnya. Dapat dikatakan, penutup cerita belum menggambarkan masa depan pemain utama secara gamblang. Selain tokoh utama dalam film ini, yaitu Amek yang menjadi pemegang kunci cerita ini. Ada papin (Putu Wijaya) dan Bu Guru Imbok (Ririn Ekawati).
Papin yang selalu dengan nasihat-nasihat bijaknya dapat memecahkan persoalan orang lain.  Seperti mengingatkan Amek ketika lupa sholat Isya, mengingatkan anak-anak yang mengaji bersama untuk tidak pernah menyonteh, berbohong, dan hal-hal dusta lainnya, serta mengingatkan guru dan kepala sekolah yang semena-m`ena menetapkan hukuman fisik pada anak didiknya—yang disini ada cucunya—hanya untuk mendompleng kelulusan siswa. Papin adalah sosok yang menggambarkan bahwa orang yang cerdas bukan hanya karena nilai pengetahuan umum dan dilihat dari pandangan manusia, namun juga karena ilmu agama dan dilihat dari pandangan Allah.
Tak tertinggal Bu Guru Imbok yang dengan sukarelanya, dengan hati beliau mengajarkan ilmu pada anak didiknya dan masyarakat secara umum. Beliau rela melepas posisi guru di sekolah karena ketidak setujuannya atas ketetapan sekolah yang begitu mengekang siswa. Beliau rela untuk mengajar tanpa bayaran di rumahnya. Begitu pedulinya beliau dengan pendidikan di daerah itu.
Film ini direkomendasikan agar kita bisa membuka mata hati kita, bagaimana perjuangan saudara-saudara kita di pinggiran Indonesia dalam menuntut ilmu. Ternyata masih jauh berbeda dan tertinggal, masih sulit dan terbatas ilmunya. Mereka dengan berlari, kita hanya dengan berjalan dapat mendahului. Sungguh, naas jika masih menyama ratakan ujian kelulusan bagai pertandingan tinju tanpa kelas.


“maaf kalo cucu saya kurang ajar, itu mungkin keturunannya kurang ajar, tapi mungkin juga karena gurunya yang mengajarnya mengajarkan kurang ajar” – Papin kepada Guru dan Kepala Sekolah Cucunya

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Nam cu odio vocibus, cu eam graece iisque. Ius ceteros antiopam cu, per cibo illud verear an

Flickr Images

Featured